Selasa, 20 Juli 2010

Belajar dari Filosofi Bambu Bali



Bambu merupakan salah satu jenis tanaman yang paling banyak digunakan masyarakat Bali dalam kehidupan sehari-hari. Hampir di setiap upacara keagamaan, bambu pasti digunakan, baik daun maupun batangnya. Bambu juga menjadi salah satu bagian bangunan adat di Bali. Bagi masyarakat Bali, bambu memang memiliki filosofi yang sangat mendalam.

Sifat-sifat baik dan keunggulan bambu dibandingkan tanaman lainnya menjadi spirit dan semboyan hidup bagi masyarakat Bali, terutama penganut agama Hindu. "Bambu adalah tanaman yang memang serba guna. Semasa kecilnya, saat masih mudah tegak. Tapi, saat tua akan menunduk. Ini lambang sebuah filosofi Hindu yang selalu menjaga sopan santun," kata Ida Bagus Ketut Arinasa, ahli etnobotani dari Kebun Raya Bogor di sela-sela Association for Tropical Biology and Conservation 2010 di Bali, Selasa (20/7/2010).

Ia menambahkan, filosofi lain dari bambu adalah sifatnya yang semakin lama semakin kuat, baik batang maupun akarnya, yang membentuk kesatuan rumpun. Bambu juga tidak membutuhkan pemeliharaan yang sangat intensif sehingga bisa tumbuh di mana saja. Bahkan dari segi kegunaan, hampir setiap bagian bambu berguna.

Ketut Arinasa mengatakan, saat ini ada lima jenis bambu endemik yang masih digunakan umat Hindu Bali, baik dalam upacara keagamaan maupun kebutuhan sehari-hari. Tak sembarang bambu yang digunakan sehingga kelima jenis bambu ini masih dijaga baik oleh masyarakat. Masing-masing
jajang aya (Gigantochloa aya), jenis bambu ukuran besar yang bisa setinggi 15 meter dan diameter 12 sentimeter. Bambu jenis ini digunakan untuk atap bangunan suci.

Kedua, jenis bambu yang disebut
jajang taluh (Gigantochloa taluh) yang khas dengan batang berwarna hijau keputih-putihan. Bambu jenis ini biasa dipakai untuk gedek atau dinding dalam upacara dengan kualitas paling bagus. Ketiga, bambu yang disebut tiying ooh (Bambuca ooh) yang unik dengan morfologi ruas agak panjang, warna batang hijau, dan tebal buluhnya tidak mencapai setengah sentimeter. Bambu jenis ini dipakai untuk tempat sesajen atau sanggar pucuk saat upacara agama.

Keempat, bambu
kedampal (Sahizostachyum cestaneum) yang memiliki batang lebih pendek dan buluh tipis, tapi panjang. Buluh kedampal dipakai untuk tempat air suci dan alat musik khas Bali, gerantang. Kelima, bambu tiying alas atau Dinochroa sepang. Di antara bambu endemik itu, hanya jenis ini satu-satunya jenis bambu yang masih tumbuh di tempat aslinya, yakni hutan alam Sepang Buleleng dan Jembrana.

Menurut Ketut Arinasa, kebutuhan yang banyak terhadap bambu dalam berbagai keperluan di Bali bukannya membuat tanaman ini punah. Justru, karena sadar terhadap kebutuhan terebut, masyarakat bahu-membahu untuk menjaga kelestariannya.

KOMPAS.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar