Selasa, 20 Juli 2010

Rumah Alam di Tepi Musi

Oleh Jannes Eudes Wawa dan Helena F Nababan


Menyusuri Sungai Musi mulai hulu hingga hilir, akan terlihat sejumlah rumah panggung di tepi dan atas alur sungai. Beberapa tertata rapi dan berdiri kokoh, tetapi tak sedikit yang reyot karena kayunya mulai lapuk.

Penghuninya kebanyakan tinggal di lantai dua. Lantai dasar hanya diisi tiang penyangga rumah, selain dimanfaatkan untuk menjemur pakaian. Tinggi tiang penyangga rata-rata lebih dari dua meter dari permukaan tanah.

"Kakek dan nenek kami saat masih hidup juga tinggal di rumah panggung. Bangunan rumah sengaja dibuat seperti ini agar aman dari bencana banjir. Sekalipun air mengalir di bagian bawah, kami tetap aman di atas," kata Ahmad (55), warga Desa Untang, Kecamatan Ulu Musi, Kabupaten Empat Lawang,Selatan. Ia menambahkan, keluarganya sudah puluhan tahun menempati rumah itu.

Rumah panggung telah menjadi bagian terpenting dalam kehidupan masyarakat Sumatera Selatan, terutama yang bermukim di tepi Sungai Musi dan delapan anak sungai lainnya. Tradisi serupa berkembang di daerah lain yang memiliki sungai besar. Bahkan, mereka yang tinggal jauh dari sungai pun membangun rumah panggung, tetapi fungsinya untuk mengamankan diri dari serangan binatang buas.

Rumah panggung yang ada di tepi Sungai Musi, menurut Kepala Balai Arkeologi Palembang Nurhadi Rangkuti, berkembang sejak abad ke-4 Masehi. Hal itu berdasarkan penelitian Balai Arkeologi Palembang selama tahun 2000-2005 saat ditemukan di Situs Karangagung Tengah, Kecamatan Lalan, Kabupaten Banyuasin, sekitar 200 kilometer arah barat Palembang.

Di tempat itu, di sebuah alur sungai kecil yang menghubungkan Sungai Lahan dan Sungai Sembilang, ditemukan tiang rumah panggung. Rumah tersebut dibangun sekitar abad ke-4 Masehi atau sebelum adanya Kerajaan Sriwijaya.

"Kami menyimpulkan, pada abad keempat Masehi, bahkan mungkin jauh sebelumnya, sudah ada rumah panggung di tepi sungai. Ini juga tidak terlepas dari budaya Austronesia yang salah satu keterampilannya membuat perahu dan rumah panggung," tutur Rangkuti.

WISNU WIDIANTORO
Sebuah perahu melintasi deretan rumah panggung di pinggir Sungai Musi di Desa Upang II, Kecamatan Makarti Jaya, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Selasa (23/2). Rumah-rumah panggung di sepanjang aliran Musi dipilih untuk menghindari banjir merendam rumah mereka.
Pilihan membangun rumah panggung tidak terlepas dari kondisi tanah di Sumatera Selatan yang umumnya berupa lahan basah, seperti rawa, dan hanya sedikit sekali tanah kering. Tanah kering biasanya dimanfaatkan untuk menempatkan barang sakral dan tempat ibadah, seperti masjid dan kelenteng atau candi, serta pemakaman.

Permukiman sengaja dibangun di atas lahan basah, terutama di tepi sungai, karena sungai memiliki sumber daya hayati, seperti ikan yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Lebih dari itu, sungai juga menjadi sarana transportasi yang efektif dalam menjalin hubungan dengan masyarakat luar serta memasarkan hasil bumi. Apalagi, ada sejumlah jenis kayu yang tumbuh di wilayah tersebut yang cocok dijadikan tiang penyangga rumah dan mampu bertahan puluhan tahun.

Kebiasaan itu terus berlangsung hingga ratusan bahkan ribuan tahun. Hal ini yang membuat masyarakat setempat memiliki ikatan sosial yang erat dan mengental dengan sungai. Mereka juga membangun rumah menghadap ke sungai sehingga sungai menjadi halaman depan rumah.

Bukan itu saja. Masyarakat yang tinggal di tepi Sungai Musi juga pantang memperlakukan sungai secara semena-mena sebab diyakini ada makhluk tertentu yang selalu menjaga sungai.

EDDY HASBY
Muka rumah panggung milik warga di Desa Air Balui, Kecamatan Sanga Desa, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Rabu (10/3), masih menghadap ke sungai, meski telah tersedia jalan aspal untuk transportasi darat, tepat berada di belakang rumah mereka.
Untuk membangun rumah panggung di tepi sungai, warga biasanya memanfaatkan kayu unglin alias kayu ulin atau kayu besi yang ada di kawasan tersebut. Kayu itu tergolong sulit dimakan rayap sehingga bisa bertahan puluhan bahkan ratusan tahun.

Selain kayu ulin, ada pula kayu nibung, sejenis pinang. Kayu yang pada bagian dalamnya memiliki serat ini juga tergolong awet berada dalam tanah basah. Namun, yang ditancapkan dalam tanah bukan pangkal, melainkan ujungnya. Pangkalnya digunakan untuk disambungkan dengan kayu lain pada badan rumah. Kayu ini tergolong gampang didapatkan di hutan ketimbang kayu ulin yang kini semakin langka.

Terlepas dari kearifan membangun rumah yang selaras dengan alam, satu hal yang memprihatinkan adalah permukiman di tepi sungai masih mengabaikan masalah sanitasi. Air sungai bukan hanya digunakan untuk mandi dan mencuci pakaian serta perkakas dapur, tetapi sekaligus menjadi kakus. Karena itu, sudah sepantasnya dikembangkan satu permukiman sehat di tepi sungai sebagai contoh. (AGUS MULYADI/HARYO DAMARDONO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar